"Awang, Bapak sudah tak mampu biayai sekolah mu, engkau berhenti saja lah sekolah!
Rumah papan itu kembali ramai, setelah setahun kepergian ibundanya, ayahnya menikah lagi, Awang senang, karna ibu tirinya juga membawa tiga anaknya, yang kini menjadi saudaranya, otomatis dia dapat saudara lagi, namun beban ayahnya juga bertambah.
Awang memangku tangannya, matanya menatap pepohonan yang diam tak bergerak, tidak ada angin bertiup semua hening, seperti hatinya yang terasa kaku, mungkin sama persis seperti kayu, batu atau apalah, dia sendiri pun tak tau, ia ingin menangis, tapi matanya hanya mampu menunduk menatap kerikil Bouksit yang berserakan di kakinya.
Fikirannya melayang, terbayang, di benak Awang, mau jadi apa nanti? Aku ingin sekolah, ingin punya teman, jika tidak sekolah akan jadi apa nantinya, ia tak ingin mengikuti jejak ayahnya menjadi tukang becak barang selamanya, ia ingin merubah nasip, menurutnya bangku sekolah adalah pintu untuk itu.
Abang Awang mengikut jejak ayahnya menjadi penarik becak barang di pasar, kakak, dan adik Awang semua telah berhenti sekolah, di karenakan tak ada lagi biaya sekolah, dan kini nampaknya Awang pun akan mengubur semua mimpinya untuk memakai seragam sekolah, belajar
Ayah Awang hanyalah seorang pembawa becak barang di pasar, dan harus menghidupi delapan anak, setiap hari sesudah subuh ayah Awang sudah harus berangkat mencari rezeki, sore hari menjadi penyapu sampah di pasar dan baru pulang setelah mentari menghilang berganti bintang.
"Nak kemana wang?"
Tanya sudin, sambil menahan senyum, melihat awang berjalan dengan sendal yang lain sebelah, geli juga hatinya melihat temannya macam katon-katon, tapi sebisanya dia menahan, karna Awang terlihat sedang murung.
"Nak kepasar lah din, aku nak cari kerje, bapak aku dah tak sanggup nak sekolah kan aku lagi lah din,"
jawab Awang sambil memandang kebawah, tanah yang di pijaknya terasa lembek, selembek hatinya kini, ia tak ingin Udin melihat kesedihan di wajahnya, meski mustahil menyembunyikan.
Udin hanya bisa terdiam, bolak balik matanya memandang Awang, wajahnya pun langsung menunduk.
"Nak kerje?, biar betul, kerje ape yang bise engkau buat wang, engkau tu bebudak kecik, baru 8 tahun umo engkau, dah lah kecik, pendek pulak, kerje ape yang nak dicari,”
Kata sudin sambil menyungging senyum getir di bibirnya.
"Keje ape je lah wang, yang penting aku bisa untuk bayar duet sekolah ku," Kate awang sambil berlalu,”
Meninggalkan Sudin mengange sambil menggaruk kepale yang tak gatal.
Hari itu, Awang bangun pagi sekali, ia berjalan kaki, tujuannya kini hanya satu, ke pasar rakyat, ia ikuti kata hatinya ia tetap harus sekolah, entah apa yang harus di lakukan, memang masih tidak jelas, harap-harap mungkin ada sesuatu yg bisa ia lakukan untuk mendapatkan uang disana.
Tampa sadar Awang melewati jalan depan sekolahnya hatinya nanar, melihat anak-anak sebaya dengan siul gembira dan baju seragam putih bersihnya bercengkerama menuju sekolah, ia percepat langkah kaki yang berbalut sendal lain sebelah itu, agar tidak terlihat oleh temannya.
Awangppun sampai di Pasar rakyat, pasar ini jika berjalan kaki dari rumahnya hanya 30 menit, orang menyebutnya Pasar Baru, Pasar Tua di Tanjungpinang, kini yang Awang lihat adalah pasar becek, dengan bau amis dan aroma yang menyengat, banyak pedagang yang meletakkan dagangan di pinggir jalan sempit begitu saja, Awang bingung, mau ngapaian, dia hanya duduk disamping bak sampah besar, sambil melihat orang yang lalu lalang, rasanya seperti sebutir kelapa yang hanyut di tengah lautan.
Ada anak lelaki tegap memikul sayuran, melewati Awang yang sedang termenung, dari wajahnya bisa ditebak dia anak remaja belasan tahun, berjalan tertatih karna beban berat yang ia bawa, perlahan tapi pasti sayuran satu karung besar dan kentang ia panggul di kedua bahunya.
"Bos, ini barangnya sudah sampai, bagaimana ongkosnya,"
Ucap anak lelaki tegap itu kepada seseorang pemilik kios, pria pemilik kios cepat -cepat mengeluarkan lembaran uang lantas menyerahkannya kepada anak lelaki tegap yang langsung pergi dengan senyum sangarnya.
Melihat ini timbul semangat Awang, mungkin ini petunjuk tuhan pikirnya, ia memang tak punya apa-apa dan tak tau apa-apa, tapi ada tulang empat keratnya, ini modal Awang berniat memakainya.
"Ko boleh saya bantu bersihkan sampah yang berserakan ini,"?
"hah? Lu mau bersihin sampah?”
"Iya Ko, mau”
"Yah, bersihinlah,”
Jawab koko pemilik toko sambil sedikit kebingungan melihat anak kecil dekil, dengan sendal jepit yang bergegas kegirangan mengambil sapu di sudut kiosnya, hatinya tak sampai hati, mulutnya tak bisa berkata tidak, hanya menatap kegembiraan si budak, yang bersegera menyapu di kios ikan dan sayurnya, pandangan selidiknya tak dapat ia hindari, karna tidak tau siapa anak kecil ini.
Usai membersihkan sampah dan tulang ikan sisa jualan kios, koko penjual mengambil ember jualan isi uang recehnya, ia berikan 1.500 rupiah, jelas ia melihat berbinar mata si bocah karna gembira.
"Eh, Lu kalau mau kerja besok tiap sore lu datang aja ya, bantu bersih kios, nanti gua kasi seribu lima ratus rupiah, kalau ada untong wa kasi lebih lu mau?”
"Mau ko,”
Jawab Awang sambil bersorak dalam hatinya, uang seribu lima ratus sudah di tangan, kini ia punya penghasilan, di saat ini dengan lima ratus rupiah ia bisa membayar uang sekolahnya, hati Awang berbunga, usahanya tidak sia -sia dan Tuhan mendengar doanya. Tak lupa mengucapkan terima kasih berkali-kali, Awang bergegas pulang menyusuri gang pelantar yang sepi, karna pedagang telah pulang dan menutup kios.
"Kurang ajar! berani ko ganggu lapak kuu ya,"
Remaja kekar menghadang Awang, dengan cepat tangannya mencekik, Awang kesulitan bernafas, ia ingin berontak tapi tangan itu kuat sekali, ia hanya bisa meringgis sambil menahan sesak.
"Pergi ko, jangan ganggu lapak sini, ini tempat ku, kupatahkan lehermu nanti,”
Remaja kekar yang tadi memanggul sayur dan kentang memaki Awang, sambil mengancam, ia pukulkan tangannya ke wajah Awang, Awang pun tersungkur, dan wajahnya yang kecil terlihat mengucur darah segar di sudut bibir, Awang hanya terdiam dan tertegun, menahan Sakit.
Tapi Hatinya lebih sakit, ia tak terima di perlakukan semena-mena, ia merasa tidak membuat kesalahan, hanya membantu pemilik toko bersih-bersih, dan sudah ijin sama pemilik toko, kenapa ia di pukul, ia tak tau pasar adalah dunia berbeda dengan dunia bermain lapangan hutan seberang rumahnya.
"Apa salahku bang, aku hanya menyapu took?,
"Kau tanya salah lagi, pokoknya jangan kau ganggu lapak ku,
kalau kau ganggu ku pecahkan kepalamu!
Suara remaja kekar semakin meninggi.
Awang Kesakitan karna di pukul, tapi berusaha berfikir, dan membatin, jika kulawan aku tak mampu, tapi ini peluangku untuk bisa sekolah dan aku tak akan membiarkannya berlalu, ini kesempatanku, bathin Awang berontak, sakit di bibirny serasa mengebas tidak ia rasakan meski darah masih mengucur.
"Aku tak mengganggu mu bang, juga tidak mengambil lapakmu, aku tidak tau di sini ada lapak, yang kutahu, aku ijin sama pemilik toko,"
Jawab Awang dengan suara tak kalah tinggi.
Remaja kekar semakin geram melihat Awang tak bergeming, ia bergerak menjambak rambut Awang dengan sekali sentakan, awang terpelanting, lalu di susul dengan pukulan di perut dan tendangan yang mendarat di kepala.
Awang terkapar, perut dan kepalannya serasa mau pecah, sakit itu tak tertahan olehnya, tapi hatinya berkata tidak, ia terima sakit itu, sambil berteriak menahan sakit, Awang bangun dan meloncat, menerkam, bak se ekor kucing marah, mencakar dan memiting kepala si remaja kekar.
Tak menyangka di serang, si remaja kekar lengah, "Pletaak"..sebuah hantaman kayu yang di pungut awang mengenai kepalanya, iapun sempoyongan, Awang kembali teriak dan menerkam, kali ini baju remaja kekar jadi sasaran, koyak berkecai di cakar Awang, mukanya juga jadi sasaran, dalam kondisi marah Awang ingat selangkah dua langkah petua Atok ketika bermaen silat, dengan ala jurus kuceng meragot ikan asin, Awang menyerang sekuat tenaga, pokoknya cakar, guling dan cakar.
Merasa kesakitan, remaja kekar buru-buru lari meninggalkan Awang yang sedang marah bak kucing kecil terluka, remaja kekar berlari meninggalkan Awang dengan jurus Kucingnya.
Sementara, susana yang sepi mulai ramai, karna pedagang yang akan pulang mulai berdatangan melihat perkelahian.
"Awang, Kamu kenapa wang,"? suara kecil menegur Awang, Awang menoleh melihat Sudin dan Ibunya menenteng sayur, rupanya ia dan ibunya sedang berbelanja dan tak sengaja melihat Awang berkelahi.
"Din, Aku bisa sekolah din, aku sudah dapat kerja, bantu koko, menyapu di kiosnya," ujar Awang sambil merogoh kantong menunjukkan uang yang ia peroleh.
"Astafirullah, ternyata kau serius wang, sampai begini kau wang, ya Allah, sudahlah mari pulang,"
Sudin mengangkat tangan Awang dan menyeka luka di bibir, sementara ibunya hanya bisa terdiam melihat anak tetangganya, berdarah, terluka, ia tak kuasa berkata, hanya bisa memapah Awang tuk berdiri.
Awang berdiri dengan susah payah , tertatih berjalan pulang, tapi hatinya gembira, dia telah melawan penindasan meski harus babak belur, ia tak kan mundur, niatnya untuk terus sekolah sudah tak terbendung.
"Trima kasih din, mari kita pulang, terima kasih
makcik."
"Plaaak...tiba tiba terdengar suara keras di kepala Awang, sepotong kayu menghantam kepalanya, ia tak sempat menghindar, ketika dari arah belakang, si remaja kekar muncul tiba-tiba, menghantam kepalanya dengan balok kayu yang dibawa, ternyata si remaja kekar masih dendam, dan ia kembali lagi untuk menghajar awang, setelah memukul, dia langsung tancap langkah seribu, dan semuanya terjadi begitu cepat.
Awang memegang kepalanya ia tiba - tiba pusing, dan sekelilingnya berubah gelap, hanya suara Udin yang ia dengar dan suara ibunya yang berteriak histeris namun pelan-pelan menghilang.
"Wang kepalamu berdarah wang, Awang ya Allah....Awaang.
Awang tak lagi mendengar, matanya gelap, Sakit di kepalanya juga
tak terasa, ia tumbang, ya.. tumbang, tubuh kecil itu tumbang, Seperti potongan
karang yang patah, uang seribu lima ratus tercampak dari kantong celana, luruh
bersama tubuh, Awang mencoba melawan karang Dunia, tangan rapuh, apalagi
tengkorak kepalanya.
1/11/2023.15.16
0 comments:
Posting Komentar